KONSERVASI ARSITEKTUR
Konservasi adalah
pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa
Inggris, yaitu Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.
Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama
yang telah pudar. Konservasi arsitektur adalah penyelamatan suatu
obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi pada perjalanan sejarah suatu bangsa,
pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa antar generasi. Termasuk
upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah. Peningkatan nilai-nilai estetis
dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting untuk menarik
kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan tersebut.
Sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konsevasi bangunan
bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari
bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada
generasi mendatang.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah yang dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut. Namun, menurut yang dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh karena itu, konservasi bangunan bersejarah sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga cagar budaya yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita.
Sasaran
Konservasi :
§
Mengembalikan
wajah dari obyek pelestarian.
§
Memanfaatkan
obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini.
§
Mengarahkan
perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu, tercermin
dalam obyek pelestarian.
§ Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan
kota, dalam wujud fisik tiga dimensi Lingkup Kegiatan.
Kategori Obyek Konservasi :
§
Lingkungan
Alami (Natural Area)
§
Kota
dan Desa (Town and Village)
§
Garis
Cakrawala dan Koridor pandang (Skylines and View Corridor)
§
Kawasan
(Districts)
§
Wajah
Jalan (Street-scapes)
§
Bangunan
(Buildings)
§
Benda
dan Penggalan (Object and Fragments)
Manfaat Konservasi :
§
Memperkaya
pengalaman visual
§
Memberi
suasana permanen yang menyegarkan
§
Memberi
kemanan psikologis
§
Mewariskan
arsitektur
§
Aset
komersial dalam kegiatan wisata internasional
Peran Arsitek Dalam
Konservasi :
Internal :
§
Meningkatkan
kesadaran di kalangan arsitek untuk mencintai dan mau memelihara warisan budaya
berupa kawasan dan bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi.
§
Meningkatkan
kemampuan serta penguasaan teknis terhadap jenis-jenis tindakan pemugaran
kawasan atau bangunan, terutama teknik adaptive reuse.
§
Melakukan
penelitian serta dokumentasi atas kawasan atau bangunan yang perlu
dilestarikan.
Eksternal :
§
Memberi
masukan kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang perlu
dilestarikan dari segi arsitektur.
§
Membantu
Pemda dalam menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan pengembangan kawasan
yang dilindungi (Urban Design Guidelines).
§
Membantu
Pemda dalam menentukan fungsi atau penggunaan baru bangunan-bangunan bersejarah
atau bernilai arsitektural tinggi yang fungsinya sudah tidak sesuai lagi
(misalnya bekas pabrik atau gudang) serta mengusulkan bentuk konservasi arsitekturalnya.
§
Memberikan
contoh-contoh keberhasilan proyek pemugaran yang dapat menumbuhkan keyakinan
pengembang bahwa dengan mempertahankan identitas kawasan/bangunan bersejarah,
pengembangan akan lebih memberikan daya tarik yang pada gilirannya akan lebih
mendatangkan keuntungan finansial.
Jenis Kegiatan Pelestarian
Highfield (1987: 20-21) menjabarkan
tingkat perubahan pada tindakan pelestarian dalam tujuh tingkatan, yakni;
§
Perlindungan
terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian
penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan
sarana-prasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang
memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan
kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang
dikombinasikan dengan penghawaan alami;
§
Perlindungan
terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar
interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki
finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan struktural
dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan tangga
baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
§
Perlindungan
terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan
besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana
saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan
tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur
pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama
sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;
§
Perlindungan
seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan
interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad
yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi,
seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke
depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari
elemen internal bangunan eksisting;
§
Perlindungan
hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi
total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di
belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada
bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;
§
Perlindungan
hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan
eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang
sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini dapat dilakukan apabila
bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting, tampak bangunan yang
penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa tampaknya menempel pada
bangunan di sekelilingnya; dan
§ Opsi paling drastis pada pengembangan
kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan
demolisi total bangunan eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.
Kriteria Tolak Ukur dan Penggolongan
Bangunan Cagar Budaya
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
§
Tolak
ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan,
politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat
nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
§
Tolak
ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
§
Tolak
ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan
maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
§
Tolak
ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan
tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu
lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
§
Tolak
ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan
suatu zaman dan gaya tertentu.
Dari
kriteria dan tolak ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam
3 golongan, yakni:
§
Golongan
I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit
perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
§
Golongan
II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih
memiliki beberapa unsur keaslian.
§
Golongan
III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan
kurang mempunyai keaslian.
Tipologi
Bangunan Cagar Budaya di Indonesia
Bangunan-bangunan peninggalan dan memiliki nilai
sejarah harus di pelihara dan dilestarikan bentuk bangunannya di Kawasan
Jakarta Utara cukup banyak bangunan peninggalan khususnya kawasan Kota Tua
Jakarta, Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur yang ada di
Indonesia, tipologi bangunan dibagi menjadi :
1.
Bangunan
masyarakat Kolonial Eropa
Kota Tua
Sumber:
Megapolitan.kompas.com
§
Bangunan
periode VOC (abad XVI-XVII), arsitektur periode
pertengahan Eropa. Ciri-ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit
bukaan, jendela besar tanpa tritisan, tanpa serambi.
§
Bangunan
periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa). Ciri-ciri bangunan ini adalah
atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak
§ Bangunan modern kolonial (abad XX).
Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco dan Art Nouveau.
2. Bangunan
masyarakat China.
Kelenteng Sam Poo Kong
Sumber:
Travel.Tribunnews.com
§
Ciri-ciri
bangunan ini adalah berupa shop houses bergaya Cina Selatan, terletak di
sekitar core inti wilayah utama suatu daerah. Contohnya: Kuil Sam Poo Kong yang
berada di Semarang, Jawa Tengah.
3.
Bangunan
masyarakat pribumi.
Rumah Joglo
Sumber:
Romadecade.org
- Ciri-ciri bangunan ini adalah berada di luar benteng, berupa rumah panggung namun ada juga yang langsung menyentuh lantai, menggunakan bahan-bahan alami. Saat ini bangunan dengan tipologi sudah banyak yang punah
4.
Bangunan
modern Indonesia.
Unilever Indonesia Head
Office
Sumber: Unilever.co.id
Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Internasional
Style. Contohnya: Unilever Indonesia Head
Office yang berada di BSD.
Klasifikasi Golongan Bangunan Cagar Budaya
Penggolongan bangunan cagar budaya dikelompokan menjadi golongan A, B, C, dan D.Bangunan cagar budaya kelas A adalah bangunan yang harus dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Kelas B adalah bangunan cagar budaya yang dapat dipugar dengan cara restorasi. Kelas C dapat diubah dengan tetap mempertahankan tampak bangunan utama. Kelas D dapat dibongkar dan dibangun seperti semula, karena kondisinya membahayakan penghuni dan lingkungan sekitarnya. Secara detail, berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya dibagi menjadi sebagai berikut:
GOLONGAN
A
Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
§
Bangunan
dilarang dibongkar dan atau diubah.
§
Apabila
kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan
pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
§
Pemeliharaan
dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis atau memiliki
karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah
ada.
§
Dalam
upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai
rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya.
GOLONGAN
B
Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
§
Bangunan
dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk,
roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk
dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
§
Pemeliharaan
dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap
dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang
penting.
§
Dalam
upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang
dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan.
§
Di
dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan
tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.
GOLONGAN
C
Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi
dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
§
Perubahan
bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka,
arsitektur utama dan bentuk atap bangunan.
§
Detail
rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya
dalam keserasian lingkungan.
§
Penambahan
bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang
bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya
dalam keserasian lingkungan.
§
Fungsi
bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.
§
Pemanfaatan
Kembali Bangunan Cagar Budaya.
Sumber:
http://egardanoza.blogspot.com/2018/07/konservasi-arsitektur-konservasi.html
https://rarastrianaputri.wordpress.com/2017/05/13/konservasi-bangunan-kerta-niaga-pada-kawasan-kota-tua-jakarta/
https://rarastrianaputri.wordpress.com/2017/05/13/konservasi-bangunan-kerta-niaga-pada-kawasan-kota-tua-jakarta/
Komentar
Posting Komentar