BAB III

KASUS


pembangunan apartemen pertama di Kota Malang yang terletak di Jalan
Soekarno Hatta No.2 Malang, tepatnya di tepi jembatan Soekarno Hatta, di
tepi sungai Brantas dan berhadapan dengan Politeknik Negeri Malang.
Softlaunching apartement ini di lakukan pada 9 Desember 2009 padahal IMB
dikeluarkan pada Juni 2010. Pembangunan apartement tersebut
menimbulkan banyak dampak negatif, selain mengurangi Lahan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) pembangunan apartment tersebut seharusnya tidak
boleh dilakukan lantaran lokasinya yang berada di tepi/sempadan sungai.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Malang terkait
pemberian izin berdirinya apartemen menimbulkan banyak permasalahan,
baik permasalahan hukum, permasalahan lingkungan dan permasalahan
sosial. Lokasi berdirinya apartemen yang terletak di tepi/sempadan Sungai
Brantas menjadikan pertanyaan oleh banyak kalangan. Berdasarkan
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Malang, lokasiberdirinya
apartemen yang dibangun di wilayah kecamatan Lowokwaru tersebut tidak
sesuai.

Pada saat awal didirikannya apartemen, terjadi pelanggaran yang
dimana pada saat itu masih berlaku Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang tahun 2001-2011.

Pada proses perizinan dan penetapan kebijakan terkait pembangunan
apartement terlihat seolah-olah bahwa terdapat transaksi politik dan ekonomi
antara pihak yaitu pihak pengembang/pengelola apartement dengan
Pemerintah Kota Malang yang pada akhirnya dapat menguntungkan kedua
belah pihak dengan melanggar hukum serta menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan hidup Kota Malang.

Selain apartemen, masih ada bangunan-bangunan seperti Malang
Town Square (Matos), Rumah Sakit Akademi Universitas Brawijaya (RSAUB)
dan Ijen Nirwana Residence yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang.

Kini kota Malang menggunakan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Malang untuk mengatur tata ruang Kota Malang.
Walaupun dengan adanya Perda baru terkait penataan ruang Kota Malang,
tidak ada jaminan bahwa tidak terjadi pelanggaran terkait penataan ruang
dan fungsi lahan, yaitu dimana tidak ada kesesuaian dan sinkronisasi antara
fakta di lapangan dengan apa yang direncanakan di dalam Perda Nomor 4
Tahun 2011.

Tidak hanya itu, terdapat kejanggalan terkait terbentuknya Perda
Nomor 4 Tahun 2011. Salah satu contoh adalah Perda yang diundangkan pada tanggal 7
Maret 2011 terlihat melunak dan menyesuaikan atas pelanggaranpelanggaran
yang terjadi pada saat berlakunya Perda Nomor 7 Tahun 2001.
Dari sini kita bisa menilai bahwa sifat tegas, mengikat dan memaksa dari
sebuah peraturan daerah tidak terlihat sama sekali. Padahal, terdapat banyak
sekali bangunan-bangunan di Kota Malang yang melanggar atau tidak sesuai
dari segi penataan ruang dan dari segi perubahan perencanaan tata ruang
yang dituangkan di dalam perda. Padahal sudah jelas bahwa pelanggaran di
dalam penataan ruang memiliki dampak negatif bagi aspek lingkungan,
sosial-budaya, ekonomi dan lain-lain.

Namun entah dari dan bagaimana
bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang tersebut mendapatkan IMB
atau dapat berdiri dengan kokoh sekarang ini.
Menurut Pasal 73 ayat (9) Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang dinyatakan : “Izin pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang
wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan
memberikan ganti kerugian yang layak.”
Sanksi-sanksi yang diancamkan pun baik sanksi administrasi maupun
pidana seolah-olah hanya berupa ancaman yang tidak ada realisasinya.

Hal tersebut dapat terlihat bahwa banyak bangunan yang melanggar Perda
Nomor 7 Tahun 2001 tentang RTRW yang berlaku pada saat itu berdiri atau
mendapatkan IMB.

Dengan kata lain, baik Perda Nomor 1 Tahun 2001 maupun Perda
Nomor 4 Tahun 2011 seolah- olah hanya sebagai formalitas tertulis saja yang
tidak begitu dipedulikan eksistensinya. Walaupun dengan dikeluarkannya
Perda Nomor 4 Tahun 2011, masih belum terlihat upaya-upaya dan
keseriusan dari pemerintah untuk menerapkan perda tersebut dengan baik.
Perbandingan antara kondisi dan keadaan Kota Malang secara fakta
dengan kedua pasal di atas, maka dapat dilihat bahwa kondisi dan keadaan
Kota Malang masih jauh dari harapan, yaitu sesuai dengan visi dan fungsi
penataan ruang Kota Malang menurut Perda Nomor 4 Tahun 2011.
Walaupun terkesan masih terlau dini untuk membicarakan tentang efektivitas
Perda tersebut lantaran masih terbilang baru dan masa berlakunya masih
panjang yaitu mulai dari tahun 2010-2030, namun tanda-tanda keseriusan
dari pemerintah untuk mengoptimalisasikan Perda Nomor 4 Tahun 2011
belum tampak di sini.



Visi dan fungsi penataan ruang Kota Malang di atas tidak akan
terlaksana dengan baik apabila masih banyak terjadi pelanggaranpelanggaran
penataan ruang yang terjadi di Kota Malang.

Terlabih lagi pelanggaran penataan ruang terkait pemberian izin mendirikan bangunan
(IMB) yang sangat banyak terjadi di Kota Malang.
Jadi, setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum perdata
tidak diperkanan atau diberi izin untuk mendirikan bangunan atau
menggunakan tanahnya jika tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan
peruntukannya dalam rencana tata ruang.Namun fakta yang ada di Kota
Malang adalah masih ada orang ataupun badan hokum perdata memperoleh
izin mendirikan bangunan (IMB) atau memiliki bangunan, tetapi melanggar
Perda kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW.


Penyebab terjadinya penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB)
walaupun melanggar tata ruang

Pengendalian dan pemanfaatan tata ruang di Kota Malang mengacu pada
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
kemudian dikhususkan lagi melalui Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang. Orang yang ingin memanfaatkan
suatu lahan atau ruang yang ada di Kota Malang harus mengacu pada Perda
Nomor 4 Tahun 2011, di mana harus menyesuaikan dengan peta Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang yang sudah ditetapkan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).8 Setelah
mengetahui peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang,
kemudian mengajukan rencana pembangunan atau pemanfaatan ruang di
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Malang untuk memperoleh Advice
Planning (AP). Jika seseorang telah memperoleh Advice Planning (AP) yang
dikeluarkan oleh DPU Kota Malang, maka orang tersebut harus memperoleh
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terlebih dahulu di Badan Pelayanan dan
Perizinan Terpadu (BP2T) Kota Malang sebelum melakukan pemanfaatan
atau pembangunan di Kota Malang.

Demikian adalah prosedur yang harus di tempuh jika terdapat subyek
hukum yang ingin melakukan pembangunan atau pemanfaatan di suatu
lahan. Jika ada pemohon yang tidak mematuhi Perda Nomor 4 Tahun 2011
dan prosedur yang sesuai, di mana Ia ingin melakukan pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Malang, maka DPU Kota Malang dan
BP2T Kota Malang wajib menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, jika
masih tetap terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran tata ruang maka dapat
diancam sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang terkait.

Prosedur pemanfaatan ruang serta sanksi pidana yang diancamkan
seolah-olah tidak berlaku di Kota Malang. Karena masih banyak
bangunanbangunan di Kota Malang yang lokasinya tidak sesuai dengan
RTRW Kota Malang (2010-2030) namun memiliki IMB. Dengan banyaknya
bangunan yang lokasinya tidak sesuai dengan RTRW Kota Malang namun
memiliki IMB, maka akan banyak menimbulkan dampak negatif dari segi
ekonomi, sosial, terutama dari segi lingkungan.

Akan tetapi ada pengecualian melalui mekanisme BKPRD (Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah).10 BKPRD diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah. Menurut Permendagri Nomor 50 Tahun 2009,
dijelaskan bahwa Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang
selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk
untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang di Provinsi dan di Kabupaten/Kota dan mempunyai
fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/Walikota dalam
koordinasi penataan ruang di daerah. Atau dengan kata lain, BKPRD adalah
suatu bentuk tim koordinasi bidang penataan ruang dalam rangka menjamin
tercapainya tujuan koordinasi penataan ruang yang efektif dan meningkatan
peran Pemerintah memfasilitasi Pemerintah Provinsi dalam
mengkoordinasikan penataan ruang di daerahnya, terutama untuk
pengendalian pemanfaatan ruang.
Susunan keanggotaan BKPRD Provinsi, terdiri atas:
a. Penanggung jawab: Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. Ketua : Sekretaris Daerah Provinsi;
c. Sekretaris : Kepala Bappeda Provinsi;
d. Anggota : SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) terkait
Penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah.

Dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang, menurut pasal
4 ayat (1) Permendagri Nomor 50 Tahun 2009, salah satu tugas BKPRD
adalah mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian permasalahan
dalam pemanfaatan ruang baik di provinsi maupun di kabupaten/kota, dan
memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. Jadi, dalam hal ini
BKPRD dapat dijadikan suatu pertimbangan dan pengecualian bagi
bangunan yang peruntukannya tidak sesuai dengan RTRW yang ada.
Sehingga terbitlah IMB terhadap suatu bangunan walaupun tudak sesuai
dengan RTRW yang ada.

Mekanisme BKPRD seperti yang di atas bisa terlaksana apabila ada
pengajuan dan permohonan dari pemilik tanah atau bangunan tersebut.
Terlaksananya rapat BKPRD yang terdiri dari suatu tim yang berasal dari
SKPD terkait, Akademisi, DPRD Kota Malang dan lain-lain, bukan berarti
pengajuan dan permohonan pasti dikabulkan.12 Lanjut Waskito :
Penerbitan IMB yang tidak sesuai dengan RTRW ternyata tidak hanya
berasal dari pengajuan permohonan BKPRD saja, tetapi juga ada yang
melalui cara lain, yaitu melalui jalur cepat dengan memberikan uang
terimakasih maupun sejenisnya.

Syarat-syarat yang tidak mencukupi
membuat subyek hukum memaksakan persetujuan izin melalui berbagai
cara, dan salah satunya adalah dengan cara pemberian uang terimakasih
atau suap. Investor dan pengusaha akan melakukan berbagai macam cara
demi memuluskan langkah perizinan di dalam investasinya, termasuk dengan
melakukan aksi suapmenyuap. Aksi tersebut ditempuh jika dalam syarat yang
diajukan ada yang tidak terpenuhi. Seperti lokasi berada di daerah yang tidak
seharusnya mendirikan bangunan tersebut atau dengan kata lain lokasinya
melanggar tata ruang.

Hampir disetiap Pemerintahan Kota terdapat oknum-oknum jahil,
termasuk dalam hal ini adalah oknum-oknum dari SKPD terkait yang
menerima uang terimakasih dari investor atau pengusaha. Tidak hanya
menerima, bahkan terkadang oknum yang memiliki status sebagai PNS
tersebut malah meminta kepada investor atau pengusaha dengan dalih akan
memperlancar dan mempercepat proses perizinan yang diajukan.
Secara aturan, pemberian biaya untuk alasan apa pun yang tidak
dibenarkan, dan merupakan suatu pelanggaran. Pemberian uang yang
dilakukan oleh investor atau pengusaha kepada oknum-oknum SKPD terkait
demi memperlancar proses penerbitan IMB dengan melanggar RTRW
merupakan suatu tindak pidana yang melanggar Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Komentar

Postingan Populer